Amien Rais menganggap bahwa langkah yang di tempuh Presiden Jokowi gagal dalam memberikan rasa tak nyaaman kepada Rakyat dan Bangsa
Ini pengibulan, waspada. Bagi-bagi sertifikat tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu, seolah dibiarkan…” Begitulah penggalan pernyataan Amien Rais dalam sambutannya dalam sebuah diskusi dengan topik, Kegagalan Negara Memberikan Rasa Aman Kepada Rakyat dan Bangsa, Melanggar UUD 1945 Pasal 28 G (1) dan Hak Asasi Manusia,” di Hotel Savoy Homann Bandung, 18 Maret 2018 lalu.
Amien Rais menganggap bahwa langkah yang ditempuh oleh Presiden Jokowi dengan membagi-bagikan sertifikat tanah secara gratis dalam setiap kunjungan kerjanya ke daerah, bukanlah cara yang tepat. Ia menilai bahwa cara tersebut tidak bisa menuntaskan permasalahan kepemilikan lahan yang sudah sejak lama dihadapi oleh rakyat Indonesia.
Tidak lama berselang setelah Amien Rais mengeluarkan pernyataan “kekesalannya” itu, para netizen lantas memberi beragam respon terhadap pernyataannya yang cenderung memojokkan dan tidak membangun itu. Sebagian besar dari para netizen tersebut bukan malah simpatik dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Mereka malah merespon ucapan Amien Rais tersebut dengan cemoohan dan sumpah serapah.
Mulai dari menyebut Amien Rais sebagai politikus sepuh yang bisanya hanya menimbulkan kagaduhan di tengah masyarakat, menyebutnya sebagai perusak kesejukan kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga mengajak Amien Rais agar segera insaf mengingat umurnya yang sudah tidak muda lagi.
Dia yang seharusnya menjadi guru bangsa yang memberikan berbagai masukan dan kritikan membangun kepada pemerintah, malah bertindak sebaliknya. Sesungguhnya Amien Rais seorang yang berpendidikan. Dia bergelar Doktor. Gelar tertinggi di dunia akademis. Gelar itu bahkan ia peroleh dari Amerika Serikat yang kualitas pendidikannya jauh lebih mumpuni dari Indonesia.
Namun gelar yang cukup menterang itu, ditambah lagi jabatan fungsional profesor yang disematkan kepadanya, tidak lantas membuatnya mampu berkomunikasi sementereng berbagai gelar yang melekat padanya. Kemampuannya berkomunikasi sangat jelek. Ia kerap menyampaikan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Bicaranya aneh dan serampangan.
Kita tidak tahu apa yang menjadi dasar Amien Rais sehingga dia tiba-tiba mengeluarkan pendapat yang menyatakan bahwa presiden “ngibul.” Tidak ada angin tidak ada hujan, Amien Rais tiba-tiba merengek tak jelas. Saya jadi bingung, logika apa yang sedang dimainkan oleh seorang Amien Rais sehingga dia menyebut program sertifikasi tanah tersebut disebut sebagai pengibulan.
Kita juga tidak tahu apa yang menjadi dasar Amien Rais sehingga bisa-bisanya ia menyatakan bahwa masa pemerintahan Jokowi merupakan masa yang paling kelam, masa yang kualitasnya paling bawah sepanjang sejarah, masa di mana pemerintahan yang paling mengalami kemunduran dari semua rezim, masa yang menurutnya keadilan semakin menjauh.
Amien Rais mungkin lupa bahwa puluhan proyek mangkrak yang merupakan warisan dari rezim-rezim sebelumnya, diselesaikan oleh Jokowi. Dia juga mungkin lupa bagaimana kelamnya rezim orde baru yang “menghabisi” siapa saja yang mencoba-coba berbeda dan mengkritik pemerintah.
Atau mungkin Amien Rais tidak tahu, bagaimana masyarakat di Papua saat ini benar-benar merasakan kemerdekaan sejati setelah pemerintahan Jokowi. Jalan yang membelah tanah Papua dibangun Jokowi dengan satu tujuan: membebaskan mereka dari keterkucilan yang mereka alami selama berpuluh-puluh tahun.
Amien Rais juga mungkin tidak menyadari betapa warga Papua sungguh berbahagia karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini mencapai Rp. 100 ribu per liter, kini telah sama dengan harga BBM yang ia beli selama ini untuk bahan bakar mobilnnya. Ia juga mungkin tidak tahu jika masyarakat Nduga, daerah paling rawan dan terpencil di negeri ini, kini telah terbuka ke dunia luar.
Tapi sudahlah. Sebenarnya, Amien Rais bukan tidak tahu semua itu. Dia hanya iri saja terhadap seluruh pencapaian pemerintahan Jokowi selama ini. Di samping rasa iri yang menjangkitinya, dia juga khawatir, jika jagoannya akan kembali menelan pil pahit pada pemilihan presiden 2019 mendatang karena akan (pasti) kalah menghadapi Jokowi.
Karena kalau jagoannya sampai kalah lagi, maka impiannya untuk menduduki salah satu kursi menteri atau jabatan penting lainnya di negeri ini akan sirnah. Maklum, dia sudah uzur. Dan kemungkinan itu terbuka lebar. Karena hingga kini, calon presiden yang ia bangga-banggakan selama ini belum juga meng-ia-kan permintaan para kader untuk kembali maju tahun depan. Kurang amunisikah? Atau mungkin mengalami trauma akut?
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi sudah menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan seluruh tanah di Indonesia yang jumlahnya sekitar 126 juta bidang tanah harus disertifikasi pada tahun 2024. Tahun 2017, telah dibagikan 5 juta lembar sertifikat tanah. Tahun ini diperkirakan mencapai 7 juta sertifikat sudah harus disebar. Dan pada tahun 2019, 9 juta rakyat Indonesia di berbagai daerah akan mendapatkan sertifikat tanah secara gratis.
Dengan gerak cepat tersebut, maka semua bidang tanah di seluruh Indonesia yang mencapai kurang lebih 126 juta bidang tanah akan terdaftar pada tahun 2024 nanti. Dengan demikian, permasalahan sengketa tanah yang selama ini kerap dialami oleh rakyat kecil akan menurun drastis. Karena kebanyakan rakyat kalah dalam sengketa tanah karena tidak memiliki sertifikat.
Setelah Amien Rais ramai diserang oleh para netizen terkait pernyatannya yang cukup kontroversial itu, kemudian putera Amien Rais, Hanafi Rais, yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu, tampil bak pahlawan membela sang ayah. Dia menyebut bahwa data tersebut diperoleh ayahnya dari data yang dirilis oleh Bank Dunia pada tahun 2015 lalu.
Bank Dunia dibuat geram oleh pernyataan putra sulung Ketua Dewan Pembina PAN tersebut. Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo A. Chaves, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerbitkan laporan sebagaimana disebut oleh Hanafi Rais. Bank Dunia malah menilai bahwa program reformasi pertanahan yang dilakukan oleh Jokowi tersebut merupakan sebuah program ambisius yang dianggap mampu menormaliasi kesenjangan kepemilikan tanah di Indonesia.
Ternyata, bantahan Hanafi Rais tentang pernyataan ayahnya sebagai sebuah pernyataan yang tidak “asbun” (asal bunyi) semakin menegaskan kalau pernyataan itu memang asbun. Hanafi Rais membela ayahnya bukan dengan data dan fakta, dia malah memperkeruh suasana dengan menyebarkan “hoax”.
Dia asal kutip dari sana-sini. Dia asal caplok dari sumber yang tidak jelas asal-asulnya. Dan dengan kutipan “abal-abal-nya” itu, dia ingin meyakinkan orang-orang bahwa ayahnya telah menyampaikan sesuatu yang benar. Dia mungkin lupa kalau zaman ini adalah zaman keterbukaan, dimana dalam genggaman setiap orang, telah terhubung dengan berbagai jenis informasi.
Istilah “Like father, like son” benar-benar dianut oleh Hanafi Rais. Kebiasaan ayahnya menebarkan berbagai berita bohong dan ujaran kebencian itu, diikuti olehnya. Kebiasaan sang ayah berbicara tanpa data yang benar-benar valid itu, dicontoh olehnya.
Begitulah memang Amien Rais. Bukan hanya kali ini saja dia mengeluarkan pernyataan yang menyerang Jokowi dengan ujaran-ujarannya yang tidak berdasar yang cenderung melecehkan dan menghina. Amien Rais bahkan telah berhasil menempatkan dirinya sebagai antitesis sejati Presiden Jokowi sejak ia terpilih tahun 2014 lalu.
Ketika Jokowi sedang berusaha menggebuk ormas-ormas yang yang ingin mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan ideologi yang lain, dan mengganti NKRI, menjadi sebuah Negara khilafah beberap waktu lalu misalnya (ketika Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan), dia malah menganggapnya sebagai tindakan semena-mena dan menilai Jokowi sedang mengidap Islamophobia dengan melakukan kriminalisasi terhadap ulama.
Begitu pula dengan ilusi Amien Rais tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Amien Rais berpendapat, bahwa kebangkitan PKI yang sangat terstruktur dan terorganisasi yang menurutnya saat ini sedang muncul di berbagai kota di Indonesia, tidak terlepas dari campur tangan pemerintah yang disebutnya menjadi motor penggerak kebangkitan PKI di Indonesia.
Kurang apa lagi cacian, hinaan serta fitnahan Amien Rais terhadap Jokowi. Selain ilusinya tentang kebangkitan kembali PKI di Indonesia, Amien Rais menuduh bahwa Jokowi adalah seorang komunis hanya berdasarkan buku “sesat” berjudul “Jokowi Undercover” yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono, yang pada Mei 2017 lalu, dia dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan hukuman penjara selam tiga tahun, karena buku yang dia tulis tersebut tidak didukung oleh data dan fakta yang absah.
Jadi, Amien Rais memang harus ditertibkan. Dia terlalu banyak bacot dan cenderung asal bunyi. Saya mengamini pernyataan politikus PDIP Eva Kusuma Sundari yang menyatakan jika PAN berkeinginan untuk turut serta mengusung Jokowi pada Pilpres 2019, Amien Rais harus terlebih dahulu ditertibkan.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Mengingat berbagai pernyataan-pernyataan “menyakitkan” Amien Rais terhadap Jokowi selama ini, mau tidak mau, jika PAN ingin bergabung dengan Jokowi, ya, Amien Rais harus “bertobat” dari segala pemikiran-pemikiran serta ujaran-ujarannya yang irasional selama ini yang kerap menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan.
Namun, terlepas dari berbagai pernyataan kontroversial yang keluar dari mulut seorang Amien Rais, saya meragukan ketulusan hati PAN untuk sungguh-sungguh mendukung dan memperjuangkan Jokowi untuk kembali duduk sebagai Presiden Indonesia untuk kedua kalinya. Mereka punya misi lain di balik pernyataan sang ketua umum, Zulkifli Hasan, tentang ketertarikan partai yang dipimpinnya untuk mengusung kembali Jokowi.
Cukup beralasan memang. Sejak PAN secara resmi bergabung dengan koalisi parta-partai pendukung pemerintahan Jokowi sejak September 2015 lalu, dan setelah PAN resmi mendapat “jatah” kursi menteri di Kabinet Kerja Jokowi, yang menempatkan Asman Abnur sebagai MenPAN RB pada Juli 2016 silam, PAN beberapa kali berseberangan dengan partai-partai pemerintah di DPR.
Ketika pengambilan keputusan UU Pemilu di Parlemen Juli 2017 lalu misalnya, PAN bersama tiga partai non-pemerintah, yakni Partai Gerindra, Partai Demokrat dan PKS, memilih “walk out.” Ketika pemerintah sedang membutuhkan dukungan suara mereka di parlemen, mereka malah membelot.
Begitu pula pada Rapat Paripurna DPR pengambilan keputusan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, pada Oktober 2017 lalu, PAN kembali berbeda sikap dengan pemerintah. PAN memilih bergabung dengan Partai Gerindra dan PKS menolak pengesahan Perppu tersebut menjadi Undang-undang.
Masih percayakah kita terhadap keinginan PAN tersebut untuk bergabung dengan Jokowi? Menurut saya, PAN lebih baik berkoalisi dengan poros yang lain saja. Tujuan mereka bergabung dengan Jokowi hanya satu: memasangkan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, dengan Jokowi sebagai calon wakil presiden. Tidak lebih dari itu. Titik.
Komentar
Posting Komentar